Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.
Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel “Huisje Hansje” Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai “Perundingan Sarangan”, diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency – CIA.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun.
Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
JEJAK PERISTIWA MADIUN
Kolonel Mahardi ialah
seorang pajurit TNI berpangkat tinggi yang telah gugur dalam pertempuran di
kresek kab. Madiun, suasana yag
menakutkan telah membuat seluruh warga kota Madiun pada tahun 1948 karena telah
terjadi penculikan dan pembantaian disana sini. Beberapa pejabat seperti
perwira TNI,pimpinan Partai,alim ulama,dan tokoh masyarakat. Di desa kresek
tersebut banyak prajurit TNI dan pamong desa yang gugur di pertempuran kresek
di kabupaten Madiun. Ia menjadi salah satu korban keganasan PKI yang ada di
kota Madiun karena merupakan tokoh penting di kota Madiun sehingga dijadikan
incaran PKI pada saat itu,ia dibunuh bersama pamong desa. Di antara
yang menjadi korban juga adalah kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan
dengan monumen yang berdiri ditengah-tengah alun-alun kota Madiun dan nama
jalan utama di kota Madiun.
Kolonel Mahardi dianggap berjasa sebagai
pahlawan yang ada di kota Madiun sehingga namanya diabadikan sebagai nama salah
satu jalan di kota Madiun ini juga merupakan suatu bentuk penghormatan kepada
beliau karena jasanya terhadap Indonesia. Di kota Madiun juga di bangun monumen
kolonel Mahardi yang bertempat di alun-alun kota Madiun.monumen Kolonel Mahardi
ini dibangun dan diresmikan pada tanggal 17 februari 1973 oleh bapak Mayor
Jendral TNI soengkono,di monument ini terdapat tulisan yang dikutip sosok
Kolonel Mahardi “ kalau kamu ingin maju, jangan beranggapan bahwa kamu ini kamu
sempurna”. Maksud dari penggalan klimat tersebut adalah bahwa kita sebagai manusia menginginkan untuk
hidup lebih baik, jangan pernah kita merasa sempurna, karena merasa sempurna
dan kesombongan diri akan membawa kepada keburukan dan kehancuran. Monumen
Kolonel Mahardi dibuat denga sangat gagah dengan tangan menunjuk kegagahan ini
dilambagan supaya PKI tidak semene mena membuhuh dengan kejam dan tidak
berperikemanusiaan. Nama Kolonel Mahardi juga di ukir di monumen Kresek beserta
nama pamong praja lainnya. Monumen ini juga sebagai pengingan pada kita semua
sebagai generasi muda supaya tidak lupa terhadap jasa para pahlawan yang telah
gugur memperjuangakan negara ini, mereka
semua tak gentar melawan apapun asalkan demi tanah air.
2.
MONUMEN MASTRIP
Monumen Mastrip ini berada di jalan
Mastrip tepatnya samping SMA Negeri 1
kota Madiun. Patung yang digambarkan daam monumen ini adalah Mulyadi. Monumen
ini didirikan untuk mengenang jasa para pahlawan TRIP atau Tentara Republik
Indonesia Pelajar. Di Madiun didirikan 2 monumen yakni di SMP Negri2 Madiun dan
satunya lagi di jalan Mastrip. Di jalan Mastrip terdapat patung yang berdiri
tegak dan yang dijadikan patung adalah sosok Mulyadi. Mulyadi adalah seorang
anggota TRIP yang gugur dan menjadi korban kekejaman PKI pada masa itu. Situasi
kota Madiun saat itu sedang kacau banyak sekali gangguan dan hambatan yang ada
di kota Madiun saat sedang ada pemberontakan PKI di kota Madiun. Bahkan gedung
SMP Negri 2 seperti terlihat bangunan kosong karena disitu adalah markas dari
pasukan TRIP yang termasuk incaran keganasan PKI , namun kegiatan belajar
mengajar tetap berlangsung walupun tempatnya dipindahkan sementara. Peristiwa
ini merupakan catatan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Begitu besar
dan dahsyatnya semagat para pelajar
berjiwa patriotik dengan gigih dan berani menentang bahkan melawan serta
mengikis habis terhadap pemberontakan PKI yang ada di Madiun. Di antara pemuda
TRIP ada yang gugur tepat di depan halam SMP Negri 2 Madiun sebagai pahlawan
yang bernama Mulyadi pada tanggal 21 September 1948 sedangan beberapa temannya
dibunuh di Kresek Kab madiun. Kematian Mulyadi sangat tragis sekali karena
dibunuh oleh kakak nya sendiri yang bernama Muljono. Mulyadi di bunuh oleh
kakaknya dengan cara ditembak hal tersebut dilakukan Muljono karena kakaknya
ini adalah seorang Tentara merah. Mulyadi di bunuh oleh kakaknya saat dia
sedang berjaga sebagai pengawal di markas. Tak hanya di tembak setelah tak
bernyawa Mulyadi masih di tusuk-tusuk menggunakan senapan berujung belati
sangkur
Penyerbuan ke markas TRIP itu diikuti
dengan pelucutan senjata dan penangkapan terhadap 9 pimpinan TRIP. Dalam
pemberontakan PKI Madiun tersebut, ada 7 TRIP yang hilang. 1 tewas saat
penyerbuan di markas TRIP dan 6 lainnya di bunuh saat menjadi tawanan. Salah
satu diantaranya adalah Sutopo siswa SMA Pertahanan yang baru saja meraih
medali emas saat mengikuti Pekan Olahraga Nasional di Solo,selain membawa luka
yang dalam akibat dari beberapa temannya yang gugur, Sutopo harus menerima
kenyataan bahwa ada 3 temannya yang berhhianat dan bergabung bersama PKI. Dalam
catatan kaki buku “ orang-orang di persimpangan jalan ” karya Soe Hok Gie
tertulis Alex Legowo dan Sunarjo anggota TRIP telah bergabung bersama PKI
dihukum mati dengn temannya sendiri. Mereka tenang sekali dan menitipkan pesan
kepada ibunya bahwa Alex rela mati demi cita-citanya. Ia merangkul
teman-temannya dan merangkul teman-temannya sambil menyanyikan mars TRIP
sebelum menuju tempat eksekusi. Peristiwa saat PKI Madiun menyerbu markas TRIP
dan tewasnya Mulyadi sungguh sangat memicu kemarahan pelajar yang ada di kota
Madiun saat itu. Pemakaman Mulyadi saat dimakamkan ke Taman Makam Pahlawan saat
itu diiringi ribuan peajar yang kemudian melakuka demonstrasi besar-besaran.
Ketika itu pelajar Madiun membuat aliansi rahasia yang bernama Pelajar Anti
Muso (PAM),yang berani tampil secara terang-terangan. Mereka tidak lagi takut
dengan bahaya dan ancaman dari PKI. Mereka menempel poster-poster yang
bertentangan dengan pemerintah PKI. Hal ini terus terjadi selama empat hari kemudian. Para TRIP dikumpulkan
untuk mendengarkan pengarahan dari pemerintah kab. Madiun,tetapi merekan tidak
menghiraukan apa yang diarahkan oleh pemerintah kab. Madiun karena pemerintah
kab. Madiun dianggap mengingkari janji. Para tentara TRIP tetap melakukan
demonstrasi dengan cara menziarahi Taman Makam Pahlawan d dian memperingati
tepat tujuh harinya.
Tahun 1947 terjadi agresi Belanda ke
1, dimana waktu itu Kota Madiun dibanjiri pengungsi dari daerah Surabaya,
Keresidenan Besuki dan sekitarnya.Dalam rombongan pengungsi tersebut
terdapat pasukan TRIP dari Batalyon 1000 di bawah pimpinan sdr. Koesoemo
Hadi.Sedangkan waktu itu di Madiun sudah ada Batalyon 2000 pimpinan sdr. Achmad
Effendi ( mbah Onggo ) yang anggota- anggotanya tediri dari pelajar -. pelajar
kota Madiun dan Bojonegoro. Anggota -anggota ini tidak di asramakan tapi
tinggal di rumah masing – masing atau di rumah tempat kost mereka.
Dengan terjadinya perubahan-
perubahan situasi, maka struktur organisasi TRIP di rubah menjadi “Komando-
Komando”. Batalyon 1000& 2000 dilebur menjadi komando I di bawah pimpinan
sdr. Koesoemo Hadi dan dengan ijin dari walikota Madiun maka markas komando I
TRIP menempati markas eks Batalyon 2000 yaitu di ujung jalan Raya dekat simpang
empat tugu.
Sampai dengan ujian akhir SMP tanggal
4 Juli 1947 tidak terjadi sesuatu yang menonjol,kecuali beberapa hal seperti
tempat belajar dipindahkan ke “speeloods” (ruang senam / olah raga ) dengan
diberi sekat gedeg (anyaman dari bambu). Ruang ini jika pagi dipakai kelas,
siang untuk ruang makan dan malamnya untuk ruang tidur dengan bangku sekolah
sebagai tempat tidurnya.
Tanggal 11 Agustus 1948 ketika
kepala perwakilan RI di Chekoslowakia datang ke ibukota RI di Jogja turut serta
seorang sekretarisnya yang mengaku bernama Soeparto. Orang ini ternyata
kemudian hari diketahui bernama “Muso” tokoh PKI yang turut memberontak tahun
1928. ketika pemberontakannya gagal ia lari ke Rusia dan pada kesempatan ini ia
menyusup kembali ke Indonesia untuk memperkuat PKI.Sementara itu pimpinan TRIP
Komando I beralih dari sdr. Koesoemo Hadi kepada sdr. Soegito Ambon dengan
kepala staffnya sdr. Sabar Koembino dan pimpinan pasukan dipegang sdr. Soekamto
Sajidiman.
Tanggal 1 September 1948 di Solo
terjadi kekacauan yaitu penculikan & pembunuhan Dr. Moewardi,pemogokan buruh
di pabrik Delanggu Solo. Peristiwa ini merupakan peristiwa besar yang
dijadikan “ test case” oleh PKI untuk mengetahui sampai dimana reaksi,kekuatan
& wibawa pemerintah RI. Strategi ini dimaksudkan agar perhatian pemerintah
tertuju pada kota Solo,sehingga diharapkan konsentrasi pasukan RI ada di
sekitar kota Solo. Setelah peristiwa di Solo yang dianggap sebagai proolog
selesai,FDR/PKI mulai mengadakan perebutan kekuasaan dengan didukung oleh
Brigade 29 yang hampir seluruh anggotanya berasal dari laskar pemuda sosialis
Indonesia
( PESINDO ). Brigada 29 ini
sebelumnya bermarkas di Kediri kemudian dipindahkan untuk menguasai Keresidenan
Madiun.
Tanggal 18 September 1948 laskar
PESINDO di bawah PKI mengambil alih kekuasaan Pemerintah RI di Madiun dengan kekuatan
bersenjata. Hampir semua kesatuan bersenjata & posisi penting di Madiun
serta unit –unit Kecil dari Devisi Siliwangi dilucuti dan dikuasai PESINDO,
Namun markas komando I & asrama TRIP terhindar untuk sementara waktu.
Pesindo berharap dengan popularitas & wibawa yg diperoleh mereka akan
ditakuti dan akhirnya para pelajar ini akan mudah dapat dibujuk untuk bergabung
dengan mereka. Namun pendapat mereka ternyata salah besar, para pelajar
khususnya TRIP menyatakan tetap setia pada pemerintah RI dan menolak tegas
bergabung dengan FDR/PKI.
Tanggal 18 September 1948 ketika
PESINDO melucuti kesatuan – kesatuan bersenjata, satu kelompok pasukannya
bergerak melalui belakang asrama TRIP dgn sasaran mess perwira Devisi Siliwangi
yang berada di selatan asrama TRIP. Saat itu ada satu senapan laras
panjang,satu bren ( senapan mesin ) dilemparkan melalui pagar tembok oleh 3
anggota TRIP yg diterima oleh laskar PESINDO.kehilangan senjata ini baru
diketahui kemudian dan setelah mendapat kepastian sensata-senjata tersebut
dicuri anggotanya sendiri maka pada tgl 22September 1948 diadakan apel pagi
seluruh anggota. Dalam apel itu dijelaskan peristiwa tentang hilangnya senjata
& akhirnya dibuat ikrar di bawah bendera Merah Putih yang isinya akan
mengampuni anggota yang berkhianat bila sebelum jam 12.00 siang mengembalikan
senjata tersebut dan sebaliknya akan menghukum dengan menembak mati jika sampai
jam 12.00 siang senjata tersebut tidak dikembalikan, kemudian setelah apel
mereka diperbolehkan‘”Gaes” (pesiar/tamasya) keluar sampai jam 12.00 siang.
Sedang sdr. Danar Doenoes ketika
melihat ada penyerbuan,segera lari menyelamatkan diri ke lapangan. Waktu itu
sebagian besar anggota TRIP sedang istirahat atau tidur siang. Mereka terkejut
dan terbangun karena diperintahkan keluar kamar dengan teriakan & tembakan.
setelah itu mereka disuruh jalan jongkok dgn tangan ke atas untuk berkumpul di
tempat apel. Salah satu anggota PESINDO memanggil 3 nama anggota TRIP untuk
keluar dari kelompok yaitu Soenarjo,Soerojo dan Alex Legowo untuk bergabung
dengan PESINDO. Barulah diketahui dengan pasti siapa pengkhianat yang mencuri
senjatanya sendiri.Selanjutnya mereka menawan 8 orang yg dianggap pimpinan dan
di bawa ke markas PESINDO di jalan raya dekat markas komando I TRIP. Lalu
pada hari selanjutnya mereka dibawa ke penjara Kletak ( Sekarang LAPAS kota
Madiun ).
Tanggal 24 September 1948 pagi
bertebaran di seluruh penjuru kota Madiun ribuan pamflet yang berisi sikap anti
Muso dengan FDR/PKInya. Walaupun FDR/PKI menduga gerakan ini ulah para pelajar
mereka tidak pernah dapat membuktikan apalagi menangkap pelakunya.Bahkan
sebenarnya para pelajar kota Madiun diam-diam menggalang teman-temannya di
Magetan untuk ikut serta memusuhi FDR/PKI. Menyadari situasi yang mulai memanas
FDR/PKI segera mengambil tindakan preventif dan proaktif agar memanasnya
suasana di kalangan pelajar dapat diredam.
Pihak penyelenggara terkejut & panik melihat reaksi
spontan massa. Mereka tidak mengira rapat itu justru jadi boomerang bagi mereka
karena muncul berbagai unjuk rasa dalam rangka menentang FDR/PKI. Merasakan
situasi tidak menguntungkan rapat tersebut segera dibubarkan tanpa hasil
apapun. Namun massa pelajar ternyata tidak mau bubar tapi malah bergerak dalam
iring-iringan menuju Taman Makam Pahlawan tempat sdr. Moeljadi dimakamkan.
Seusai dari TMP massa kembali bergerak sambil meneriakkan yel-yel yang bernada
mengejek & melecehkan FDR/PKI. Bahkan ketika didepan markas PESINDO yang
sudah Siap sensata & mengancam siapa saja yang menghina pemerintah mereka,
teriakan dan yel-yel ini justru semakin keras bahkan menantang Pesindo untuk
menembak mereka. Untunglah peristiwa ini tidak jadi meletus menjadi pertumpahan
darah.
FDR/PKI yakin bahwa kerusuhan ini
digerakkan oleh anak-anak TRIP yang ada dalam kota sehingga pada tanggal 28
September 1948 tujuh anggota TRIP ditangkap atas petunjuk 3 orang yang
berkhianat. Ke 7 orang tersebut dibawa ke desa Kresek Kec. Wungu dan ditawan
bersama tawanan yang lain, yang pada akhirnya waktu terjadi kepanikan karena
serangan dari Siliwangi ke Madiun untuk menumpas FDR/PKI. Seluruh tawanan di
Kresek dihabisi dengan menembak membabi buta. Untunglah saat terjadi
pembantaian tersebut sdr. Soeprapto lolos dari maut dengan cara berlindung
di balik lesung ( alat penumbuk padi ) Namur ke 6 temannya gugur. Jenasah
mereka dapat ditemukan dan di makamkan di TMP. Ke 7 orang pelajar yang gugur
dari kesatuan TRIP Komando I ini nama-namanya kemudian diabadikan pada monumen
di depan halaman SMP Negeri 2 Madiun dan Di Jalan Mas TRIP untuk mengenang
jasa-jasa dan semangat kepahlawanan mereka semua.
Tanggal 30 September 1948 kota Madiun dapat direbut kembali
oleh pasukan pemerintah RI. Pemimpin – pemimpin FDR/PKI banyak tertangkap
bahkan anggota TRIP yang berkhianatpun berhasil ditangkap dan akhirnya dihukum
tembak mati di salah satu tempat pemakaman umum di Dungus. Anggota TRIP yang
ditawan di asrama SMP Negeri 2 ditinggal lari begitu saja oleh pasukan FDR/PKI
yang tugas jaga ketika pasukan pemerintah mulai memasuki Madiun. Kemudian TRIP
bersama lascar yang lain dilibatkan untuk pengejaran pasukan FDR/PKI yang
sedang melarikan diri.
Kesulitan pemerintah RI belum berakhir, baru saja
pemberontakan FDR/PKI dapat dipadamkan,pada tanggal 19 Desember Belanda
melakukan agresi ke II dimana pada saat itu anggota TRIP yang duduk di kelas 3
sedang menempuh ujian akhir tapi belum selesai semuanya. Agresi
Belanda ke II ini membuat para anggota TRIP segera melakukan konsolidasi
dan melakukan perlawanan terhadap Belanda . Para anggota TRIP Komando I yang
nota bene banyak siswa dari SMP Negeri 2 Madiun telah benar-benar menunjukkan
darma baktinya kepada ibu pertiwi dengan rela dan ikhlas berkorban jiwa dan
raga demi membela kemerdekaan Indonesia. Beberapa anggota TRIP gugur di
berbagai front pertempuran daerah Madiun waktu melawan Belanda, seperti palagan
Pagotan dan lain-lain. Walaupun mengalami kendala dan kesulitan mereka tetap
berjuang sampai titik darah penghabisan. Semangat inilah yang harus diwarisi
oleh semua generasi muda khususnya para pelajar di Kota Madiun yang nantinya
akan menjadi penerus perjuangan bangsa.
3.
MONUMEN KRESEK
Monumen Kresek adalah monumen bersejarah
yang merupakan peninggalan dan sebagai saksi atas perisiwa Madiun. Monumen ini
merupakan monumen yang di desain dan dibangun untuk meninggalkan kenangan atas
peristiwa berdarah dengan terjadinya penyerbuan desa Kresek oleh pergerakan
dengan paham politik ekstrim untuk memberikan efek politis dan perubahan
ideologi politik di tingkat pemerintahan pusat. Namun hal ini berdmpak panjang
dan menyakitkan bagi penduduk yang mengalami, baik sebagai pelaku maupun
korban, hilangnya nyawa anggota keluarga mereka menyisakan dendam dan kesedihan
mendalam sedangkan bagi pelaku menanggung dosa dan anggapan buruk yang arahnya
ditanggung juga oleh anak keturunannya hal ini masih menjadi perdebatan dan
menjadi sebuah hal yang berbahaya bila dibuka bahkan tabu. Oleh karena itu
monumen Kresek ini di bangun untuk mengenang 1 hal utama yang hilang ketika
peristiwa ini terjadi adalah kebenaran. Letak monumen ini cukup tinggi diatas
permukaan laut dan jalan di depannya lebih lebar dibandingkan dengan jalan
menuju dan sesudah monumen ini. Hal ini wajar karena dulu pernah digunakan sebagai
tempat upacara kenegaraan mengenang peristiwa kelam ini. Lokasi peninggalan
sejarah dengan luas 2 hektar ini, berada 8km ke arah timur dari kota Madiun dan
terdiri dari monumen dan relief peninggalan sejarah tentng keganasan PKI pada
tahun 1948 di Madiun.
Tidak jauh beda dari monumen terdapat
prasasti yang mengukir nama prajurit TNI dan pamong praja yang elah gugur dalam
pertempuran melawan PKI di desa Kresek maupun dibantai oleh PKI. Kol Mahardi
adalah prajurit TNI berpangkat tertinggi yang gugur dalam pertempura desa
Kresek, namanya lalu diabadikan menjadi slah satu nama jalan di kota Madiun dan
didirikan pula patungnya di alun-alun kota Madiun sebagai bentuk penghormatan.
Menurut warga setempat area monumen Kresek dahulu adalah bekas rumh warga yang
dijadikan PKI sebagai ajang pembantaian, warga sekitar dikurung di dalam rumah
tersebut lalu rumah tersebut di bakar bersama warga yang ada di dalamnya. Di
sebelh utara monumen Kresek terdapat monumen kecil yang terbuat dari batu kali
yang mengukir nama-nama prajurit TNI dan para pamong desa yang dibantai oleh
PKI. Lokasi ini merupkan saksi bisu dalam ganasnya para anggota PKI, dimana
pada waktu itu para anggota dan pamong desa di bantai dan disiksa dengan biadab
oleh PKI pada tahun 1948. Kolonel Marhadi adalah prajurit TNI berpangkat
tertinggi yang gugur dalam pertempuran desa Kresek, namanya lalu diabadikan
menjadi salah satu nama jalan di kota Madiun
Memasuki kawasan ini, kita akan melihat
sebuah dinding sepanjang 2 meter yang bertuliskan nama nama (lengkap dengan
jabatannya kala itu) korban keganasan PKI yang berjumlah 17 orang, lengkap
dengan patung mayat-mayatnya yang bergelimpangan disampingnya. Hal ini tentu
saja dimaksutkan untuk menunjukkan kepada masyarakat atau untuk pengunjung khususnya tentang betapa kejamnya PKI yang
telah membatai 17 orang tersebut. Namun kalau pemerintah mau konsisten,
pemerintah (orde baru) sebenarnya juga harus membangun dinding yang mungkin
panjangnya akan mencapai ratusan meter menuliskan nama -nama ribuan simpatisan PKI
(banyak ari mereka yang sbenarnya tidak tau apa-apa) yang juga menjadi korban
keganasan tentara dan rakyat anti-komunis, lengkap dengan tanah pulusan meter
persegi untuk membangun replika mayat-mayat yang berserakan. Di dekat diinding
tersebut terdapat sebuah pendapa berukuran sekitar 6 kali 2 meter persegi
dengan lantai keramik warna hitam. Dari sinilah kita dapat melihat dengan jelas
2 kelompok patung utama di monumen ini. Dua patung tersebut di bangun diatas
tebing dan dapat dicapai dengan menaiki tangga yang tidakterlalu tinggi namun
cukup luas. Patung yang pertama berupa 6 orang anak yag sedang berdiri, lewat
bahasa tubuh dan raut muka, keenam aak ini digambarkan sedang sangat ceria
dengan senyum yang tersumbing di bibir polosnya. Tepat dibawah sebelah kanan
patung ini terdapat sebuah kolam yang cukup luas namun terlihat tidak terawat.
Di sebelah kiri patung enam anak ini
terdapat tangga yang menuju ke puncak tebing. Disini lah terdapat patung besar
yang kuanggap paling provoktif dan paling banyak mengandung pesan. Patung ini
menggambarkan adegan seorang pria bertubuh besar, kumis tebal, dan bermuka
bengis sedang mengayunkan pedangnya ke leher seorang tua yang sedang berlutut.
Orang tua ini terlihat menggunakan sarung, sorba dan kopyah. Patung ini jelas
sekali ingin menunjukkan bagaimana seorang pemuka agama (islam) yang akan
dipancung dengan kejinya oleh seorang gembong PKI berwajah garang. Adegan ini
berkaitan erat dengan isu pembunuhan pimpinan-pimpinan pondok pesantren oleh
kelompok PKI karena tidak mau mendukung ideologi komunis yang dibawakan oleh
PKI. Walaupun kebenaran isu ini masih menjadi perdebatan, namun ini sudah
terbukti bahwa kekersan pembantaian PKI yang dilakukan terhadap rakyat
Indonesia. Bahkan sampai anak cucu PKI yang tidak tahu apa-apa bisa menjadi
korban kekerasan PKI. Di belakang patung ini terdapat sebuah relief yang
menggambarkan peperangan dan pembunuhan oleh sesama orang Indonesia yaitu PKI
dan di sebelahnya juga terdapat tuisan untuk mengingatkan para pemuda agar
waspada terhadap bahaya komunisme.
Bangunan patung paling atas adalah Patung
Muso membawa pedang yang ingin memenggal kepala seorang kiai yang dikenal
dengan nama Husen. Kiai Husen adalah seorang kiai yang arif dan bijaksana,
beiau sebagai anggota DPRD Kabupaten Madiun pada 1948.
Di sebelah barat bangunan Patung Muso ada bangunan relief yang menggambarkan proses pemberontakan yang dilakukan oleh PKI sekaligus penumpasannya. Penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh Divisi Siliwangi dipimpin oleh Kolonel Sadikin dan Divisi Jawa Timur (Jatim) dipimpin oleh Kolonel Sungkono.
Di sebelah timur bangunan patung Muso ada bangunan Patung Anak-Anak Korban PKI yang menuntut belas kepada Pemerintah RI agar menumpas kegiatan PKI di Kota Madiun.
Undak-undak masuk monument Kresek menunjukkan tanggal 17-8-1994 sebagai hari Kemerdekaan RI.
Di depat pintu masuk sebelah selatan juga terdapat prasasti batu ukiran nama-nama prajurit TNI, Polri, pamong praja, tokoh Masyarakat dan guru yang menjadi korban keganasan PKI.
Di depan prasasti ukiran nama-nama korban juga terdapat sumur tempat pembuangan korban keganasan PKI yang telah tertutup dan dibuat relief korban-korban di atasnya.
Pendapa di area Monumen Kresek merupakan bekas rumah penduduk/warga yang dijadikan Markas PKI sebagai ajang pembantaian para korban keganasan PKI.
Monumen Kresek merupakan kenangan pahit yang ditimbulkan oleh PKI yang tidak boleh terlupakan dan harus diingat oleh generasi muda bangsa dalam memperjuangkan tegaknya Pancasila dan UUD 1945.
Di samping sebagai pengenalan anak sekolah untuk mengenang kejadian waktu itu, Monumen Kresek sekarang dijadikan objek wisata yang banyak dikunjungi masyarakat sebagai tempat rekreasi dan telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti mainan anak, balai pertemuan/pendapa dan kios masakan kuliner.
Di sebelah barat bangunan Patung Muso ada bangunan relief yang menggambarkan proses pemberontakan yang dilakukan oleh PKI sekaligus penumpasannya. Penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh Divisi Siliwangi dipimpin oleh Kolonel Sadikin dan Divisi Jawa Timur (Jatim) dipimpin oleh Kolonel Sungkono.
Di sebelah timur bangunan patung Muso ada bangunan Patung Anak-Anak Korban PKI yang menuntut belas kepada Pemerintah RI agar menumpas kegiatan PKI di Kota Madiun.
Undak-undak masuk monument Kresek menunjukkan tanggal 17-8-1994 sebagai hari Kemerdekaan RI.
Di depat pintu masuk sebelah selatan juga terdapat prasasti batu ukiran nama-nama prajurit TNI, Polri, pamong praja, tokoh Masyarakat dan guru yang menjadi korban keganasan PKI.
Di depan prasasti ukiran nama-nama korban juga terdapat sumur tempat pembuangan korban keganasan PKI yang telah tertutup dan dibuat relief korban-korban di atasnya.
Pendapa di area Monumen Kresek merupakan bekas rumah penduduk/warga yang dijadikan Markas PKI sebagai ajang pembantaian para korban keganasan PKI.
Monumen Kresek merupakan kenangan pahit yang ditimbulkan oleh PKI yang tidak boleh terlupakan dan harus diingat oleh generasi muda bangsa dalam memperjuangkan tegaknya Pancasila dan UUD 1945.
Di samping sebagai pengenalan anak sekolah untuk mengenang kejadian waktu itu, Monumen Kresek sekarang dijadikan objek wisata yang banyak dikunjungi masyarakat sebagai tempat rekreasi dan telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti mainan anak, balai pertemuan/pendapa dan kios masakan kuliner.
4.
MONUMEN SOCO
Monumen yang bedada di Magetan ini
merupakan monumen bersejarah sekaligus sebagai tempat wisata yang mempunyai
motto MITRA (Magetan, Indah, Tertib, Rapi,dan Aman). Dimana tempat wisata ini
merupakan tempat terjadinya tragedi berdarah dari keganasan pemberontakan PKI
tahun 1948. Tempat wisata bersejarah ini berada di desa Soco,200 meter sebelah
selatan Lanud Iswahyudi Maospati atau 15 km arah timur dari pusat kab. Madiun.
Salah satu saksi yang ada di monumen ini adalah berupa gerbong kereta api
kertopati. Dan ada dua sumber tempat pembuangan 108 mayat yang dibantai oleh
PKI. Gerbong ini digunakan utuk mengngkut para korban yang dibantai oleh
PKI,yang terjadi di Madiun. Sebuah saksi bisu yang menggambarkan kisah yang membuat
hati ini miris, hal ini membuat kita semua mengingat bahwa masa lampau itu
sangat mengejamkan.
Monumen bisa jadi suatu sejarah yang
sangat berbeda, selain gerbong kereta. Di monumen ini juga terdapat sumur yang
menjadi tempat pembuangan mayat yang telah dibunuh oleh PKI. Menurut warga
sekitar tempat ini dijadikan tempat yang sakral, karena sudah banyak korban
kemistisan yang sudah mulai tertanam di pikiran warga sekitar. Selain menjadi
tempat bersejarah, monumen ini menjadi andalan bagi penduduk desa Soco karena
banyak pelajar lokal yang mengunjungi tempat ini untuk dijadikan tempat
pembelajaran. Sementara itu terjadinya pembantaian di Soco karena letak Soco
yang strategis dekat dengan lap udara Iswahyudi dan di dekatnya dipenuhi dengan
tegalan yang banyak sumurnya, menjadikan kawasan ini menjadi tempat pembataian.
Apalagi desa ini juga dilewati rel kereta lori pengangkut tebu pabrik gula
glodok, pabrik gula kanigoro, dan juga pabrik gula gorang gareng. Gerbong
kereta lori dari pabrik gula gorang gareng itulah yag dijadikan kendaraan yang
mengangkut para tawanan untuk dibantai di sumur tua tegah telaga desa Soco.
Di sumur tua desa telaga Soco ini di
temukan 108 mayat yang keganasan PKI. Sebanyak 78 orang diantaranya masih
dikenal dan lainnya tidak dikenali. Sumur tua yang tak terpakai di desa Soco
memang dirancang oleh PKI sebagai tempat pembantaian masal sebelum terjadinya
pemberontakan. Beberapa nama korban yang menjadi yang menjadi korban
pembantaian di desa Soco adalah bupati Sudibjo, jaksa R Moerti, Mohamad Suhud
(ayah mantan ketua DPR/MPR,karis Suhud), kapten Sumarno dan beberapa pejabat
pemerintah serta tokoh masyarakat setempat termasuk KH Solaiman Zuhdi Affandi,
pimpinan pondok pesantren ath- Thorhirin Mojopurno, magetan
Di Soco sendiri terdapat dua buah lubang
utama yang dijadikan tempat pembantaian. Kedua sumur itu terletak tidak jauh
dari rel.
Terungkap sumur2 di desaSocosebagaitempatpembantaian PKI bermuladariigauan
salah seoranganggota PKI yang turutmembantai korban.Selang waktu seratus hari
setelah pembantaian di sumur tua itu, anggota PKI ini mengigau dan mengaku ikut
membantai para tawanan.
Setelah diselidiki dan diinterogasi,
akhirnya anggota PKI tersebut menunjukan letak sumur tersebut.Sekalipun letak
sumur telah ditemukan, namun penggalian jenazah tidak dilakukan pada saat itu
juga, tapi beberapa tahun kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar